Kemarin
kita telah membahas sejarah sigkat desa Gerduren, seperti yang sudah
dibicarakan sejak awal desa Gerduren tidak mungkin bisa dilepaskan dengan keberadaan
Lengger di kawasan Banyumas dan sekitarnya. Oleh karena itu inilah sedikit
informasi mengenai sejarah keberadaan kesenian Lengger di desa Gerduren kecamatan Purwojati
Kabupaten Banyumas.
Sekitar
tahun 1820 mulailah perkembangan
kesenian lengger di desa Gerduren. Awal pertama mengenai keberadaan lengger terdapat
di dusun Lor (utara) bernama Garut sekarang masuk wilayah Kadus I, dimana pada
saat itu para pemuda dusun tersebut sering mengadakan permainan dengan
teman-teman sebayanya seperti gandon, slobor, jim-jiman (permainan tradisional). Ketika suasana sudah
riuh ramai oleh permainan itu para pemuda bersama-sama menari-nari dibawah
indahnya bulan purnama, tari-tarian ini yang nantinya akan menjadi cikal bakal
terciptanya tarian lengger.
Hingga pada
suatu masa desa Gerduren kedatangan anak
perempuan yang sangat cantik yang mempunyai daya tarik yang sangat luar biasa. Anak
perempuan itu mempunyai kesukaan menari-nari, namun yang menjadi aneh adalah
tidak ada satu orangpun yang mengetahui asal muasal dari perempuan tersebut,
karena anak itu sering kelihatan di desa tersebut sehingga ada orang tua yang
memupu (menjadikan anak angkat) kepada anak tersebut, hampir setiap malam jumat
kliwon rumah orang itupun akhirnya menjadi ramai, karena kedatangan anak itu
yang disebut orang sebagai Nyai Kuning untuk sekedar menari-nari dengan di
iringi alat musik sederhana seperti bongkel dan kenthong yang di mainankan oleh
para pemuda desa tersebut.
Ketika
anak tersebut sedang menari-nari di iringi oleh alat musik kenclung, alat musik kenclung pada awalnya digunakan
sebagai pertanda para petani palawija di dalam menanam pala tersebut, jadi bisa
ketahui mana pekerja yang rajin dan tidak oleh bunyi kencung itu semakin rajin
di dalam menanam maka bunyi akan semakin cepat. Ketika para pemuda-pemudi yang
sedang asik bermain dan menari-nari tiba-tiba anak tersebut tersungkur (
kesurupan ), para sesepuh desa berusaha menyembuhkan namun tidak ada satupun
yang bisa kemudian ada salah satu warga yang memangil Ki Warga Dipa untuk
menyembuhkan anak gadis tersebut sesampainya disana anak gadis itu lari melihat
Ki Warga Dipa menuju ibu angkatnya tadi dan berlindung di bawah pelukan ibu angkatnya
tersebut.
Anak
gadis itupun berbicara kepada ibunya saya takut kepada Ki Lurah, padahal saat
itu Ki Warga Dipa belum diangkat menjadi Lurah, dan memang pada saat itu belum
ada pemimpin desa ataupun lurah di sana. Kemudian Ki Warga Dipa berusaha menyadarkan
anak gadis itu tadi, ditanya oleh Ki Warga Dipa, nama kamu siapa, dia menjawab
saya Kastinem berasal dari Jawa Barat saya ditugasi untuk melatih tari disini.
Keberadaan asal-usul Kastinem oleh masyarakat umum sebagai misteri hanya ibu
angkatnya dan Ki Warga Dipa yang tahu asal
muasal dari gadis tersebut.
Ketika
gadis itu masih dalam pengaruh indang (kerasukan roh halus), gadis itu
mengatakan kepada ibu angkatnya nanti kalau Ki Warga Dipa menikah dia akan
menari disana sebagai rasa hormat kepada Ki Warga Dipa. Karena Kastinem (Nyai
Kuning) sudah mengetahui bahwa kelak Ki Warga Dipa akan memimpin desa ini
sebagai seorang Lurah.
Tidak
lama kemudian Ki Warga Dipa dinikahkan oleh Mbah Kasut dengan seorang perempuan
dari Pasir Luhur, pada awalnya Ki Warga Dipa tidak mau, karena teringat
istrinya yang berada di Canduk, ketika itu dalam pelariannya Ki Warga Dipa menikahi
gadis desa Canduk, Lumbir. Namun belum mempunyai seorang anak. Karena merasa
tidak mau Ki Warga Dipa sempat pergi dari desa tersebut namun sesampainya di
hutan dia seakan bimbang ingin melanjutkan perjalanan atau kembali ke desa
tersebut semalaman dia pun merenungkan mana jalan yang harus di ambil pada
akhirnya dia kembali ke desa tersebut, ternyata Ki Warga Dipa tidak bisa
meninggalkan desa tersebut karena bajunya dimasukan ke pedaringan (tempat menyimpan
beras). Pada zaman dahulu orang yang bajunya dimasukan kepedaringan dan
diucapkan mantra-mantra tertentu maka orang itu akan kembali dengan sendirinya (Wawancara
dengan Bambang Suharso tanggal 21 Mei dan 23 Juni 2012)
Akhirnya
prosesi pernikahan Ki Warga Dipa dilaksanakan. Sesuai dengan janjinya maka Nyai
Kuning pun menari disana dengan sebelumnya Nyai Kuning meminta sesaji sebagai
prasarat yaitu ikat wulung dan slendang
hujan gadung. Mendengar Nyai Kuning menari maka warga desa berbondong-bondong
ingin menyaksikan Nyai Kuning menari, bahkan para pemuda kaya rela membayar (nyawer)
hanya untuk bisa menari dengan Nyai Kuning, pada zaman dahulu pemuda yang bisa
menari dengan penari lengger maka kedudukan sosialnya menjadi lebih tinggi di
mata masyarakat lainya. Maka tak jarang ada yang rela menyerahkan harta
bendanya hanya untuk menari dengan penari lengger, bahkan seorang laki-laki
yang sudah beristripun melakukan hal yang sama dan anehnya para istri mereka sangat
mendukung.
Pertunjukan
tarian dilakukan hampir semalam suntuk suasana keakraban dan kebahagiaan
menaungi kedua mempelai dan masyarakat desa sekitar, Nyai Kuning hampir tak
kenal lelah masih terus menari dan ketika slendang hujan gadung dipakai maka
tariannya semakin bagus membuat mata yang memandang tak mau untuk berkedip.
Melihat kecantikan dan kemolekan tarian Nyai Kuning. Tidak terasa waktu hampir
menuju dini hari maka pertunjukanpun harus segera diselesaikan, setelah
pertunjukan selesai Nyai Kuning membawa slendangnya kerumah untuk disimpan,
warga desa pulang kerumah masing-masing dengan hati senang gembira.
Pada jumat kliwon berikutnya Nyai Kuning pamitan
atau meminta izin kepada ibu angkatnya untuk menari di sekitar wilayah Cilacap yang lebih dikenal kelak dengan desa
Banjarwaru, ketika ibunya sedang pergi kesumur setibanya dirumah Nyai Kuning sudah
tidak ada maka ibunya mencarinya ke rumah tetanganya dan menanyakan keberadaan Nyai
Kuning, setelah lelah untuk bertanya ada salah satu warga yang mengaku melihat Nyai
Kuning pergi ke lor arah utara, ibunya heran karena Nyai Kuning tadi berpamitan
akan menari ke kidul arah selatan, tetapi malah perginya ke utara, benar saja
ternyata di utara ada tempat nggayung (tempat pemandian) untuk lengger, ada
sebuah tempat yang biasa untuk mandi lengger di dusun lor masyarakat desa
tersebut menyebutnya Sumur Gua. Nyai Kuning pergi kesana, maka pergi pula Nyai
Kuning dan slendangnya tanpa bekas.
Pada
malam jumat berikutnya rumah ibu angkat Nyai
Kuning terasa sepi sekali tidak ada lagi alunan musik angklung dan tarian-tarian
para pemudi, melihat suasana yang tidak biasa warga menjadi aneh dan timbul
pertanyaan karena berkat kedatangan Nyai Kuning disetiap malam jumat biasanya sudah
menjadi kegiatan rutin untuk menari-nari dan memainkan alat musik sederhana
sebagai sarana hiburan masyarakat. Ketika para pemuda sudah berkumpul maka ibu
angakat dari Nyai Kuning keluar dan mengatakan Nyai Kuning sudah pergi dia
pamitan mau menari di daerah kidul selatan kelak Banjarwaru, wajah kecewa
menghiasi para pemuda dan warga desa, tidak mau terlarut dalam kekecewaan maka para
pemuda dan warga memukul-mukulkan alat
musik, seketika para remaja putri menari, dan diikuti oleh warga yang lainya. Para
remaja putri sudah mulai latihan menari dengan serius, kebanyakan para remaja
putri ketika itu ingin menjadi seperti Nyai Kuning yang diagumi hingga keluar
daerah mereka maka pada saat itu lengger sudah mulai diakui masyarakat dan
digunakan sebagai seni hiburan yang menyenangkan. Karena melibatkan masyarakat banyak yang tidak dibatasi oleh
kedudukan.
Dilihat
dari perkembangan kebudayaan, lengger merupakan perkembangan dari tarian ledhek
dan doger yang merupakan perkembangan dari seni Jaipong asal Jawa Barat memang
ada kaitanya karena pada zaman dahulu daerah Gerduren masuk kedalam kekuasaan
kerajaan Pajajaran dari cerita babad Pasir Luhur dijelaskan bahwa sebagaian
wilayah Banyumas pernah masuk kedalam wilayah kerajaan Pajajaran. Hal ini
menjadi masuk akal dengan cerita yang berkembang di masyarakat desa Gerduren,
mengenai asal-usul dari Nyai Kuning (Mbah Kastinem) yang menyebutkan dari
daerah Jawa Barat. Asal kata lengger sendiri adalah menurut masyarakat adalah
perpaduan antara ledhek dan doger yang digabungkan menjadi Lengger (Wawancara
dengan Kasmiarjo/Nakim pada tanggal 24 Mei dan 7 Juni 2012).
mas tolong diposting juga sejarah tradisi GOWOKAN Banyumas ya? Kalo bisa nnti saya kasih hadiah bacaan surat al ikhlas 3X...
ReplyDeletehaha,,,bisa2 tunggu tgl mainya.
ReplyDeleteijin berkunjung bung tio...salam kearifan lokal . chyrun.blogspot.com
ReplyDeletesiap
Deletewaahhh...... sejaraeh detail bgt
ReplyDeletesalam kenal kang, inyong asli Penusupan - Cilongok,
ReplyDelete