Kebudayaan berubah ketika seorang pangeran meninggalkan istana, melepas gelar
dan mengembara di antara rakyat jelata sebagai orang jelata. Kalau misal kisah
Sidharta Gautama maupun cerita Raden Mas Said atau Sunan Kalijaga terlalu jauh
jarak waktunya untuk diingat, kita memiliki seorang teladan yang lebih dekat
dengan waktu kita hari ini. Ia adalah Ki Ageng Suryo Mentaram, putra ke 55 dari
Sultan Hamengku Buwono VII. Lahir 22 Mei 1892, mulai berfilsafat 1921 lewat
Perkumpulan Selasa Kliwonan di Yogya. Menanggalkan kepangeranannya pada tahun
1921, kemudian menetap di Kroyo Bringin (9 km utara Salatiga) sebagai petani
(1925) sambil menjadi Penceramah Keliling.
Meninggalkan istana bagi beliau almarhum berarti menjalani hidup sebagai orang
merdeka di antara rakyat yang ketika itu belum merdeka, kemudian menghabiskan
masa hidupnya untuk berbakti kepada kemerdekaan, kehormatan, dan kebahagiaan
bangsa dan negara Indonesia.
Kita katakan kebudayaan berubah dengan lelaku beliau, karena saat beliau
meninggalkan istana dan melepas gelar lalu melakukan kawruh kepribadian di
dalam kejelataan, sebenarnya orientasi kebudayaan Jawa juga sedang bergeser
total – dari kraton sebagai pusat ke rakyat jelata sebagai pewahyu kebudayaan.
Namun cerita ini jarang sampai kepada kita. Brosur – brosur wisata dan
konservasi budaya Jawa yang ditulis belakangan, masih mengira bahwa kraton
adalah pusat budaya yang paling menentukan dalam keseluruhan lelaku budaya
bangsa Jawa.
Hal paling mendasar yang membedakan pemikiran filosofis dan ajaran lelaku Ki
Ageng Suryo Mentaram dengan filosofi kebudayaan Jawa sebelumnya adalah mengenai
pentingnya kedudukan pribadi dalam seluruh aspek kebudayaan. Bila Jawa sebelum
beliau hanya menempatkan pribadi sebagai bagian dari rantai kosmologi Tuhan –
raja – kawula dengan raja sebagai sentral, maka lewat Pengawikan Pribadi Ki
Ageng Surya Mentaram telah merubah posisi Raja – Kawula itu ke tempat yang
setara di hadapan “pribadi”.
Pribadi menjadi sentral di sini, menggantikan raja sekaligus kawula. Maka
pengenalan yang baik atas pribadi menjadi penentu bagi kesinambungan kehidupan
secara lebih luas. “Siapakah aku? aku adalah Suryo Mentaram. Yang kecewa,
yang risau, tetap saja aku si Suryo Mentaram...bukan yang lain. Tinggal
diawasi, tinggal dijajagi” kata beliau suatu kali kepada istrinya.
Pribadi itu adalah Ki Ageng Surya Mentaram, yang musti diawasi, dijajagi dan
diterima. Diawasi dan dijajagi berarti melakukan disiplin atas jiwa, diterima
berarti berikhlas dan berhayat terhadap apa yang bisa dicapai. Dalam kata –
kata beliau ‘apa yang terjadi, di sini, begini, apapun bentuknya tidak
menolak’. Tak perlu lagi rasa takut terhadap kegagalan dan apapun dalam pribadi
yang serupa ini. Tak perlu manipulasi. Orang harus menerima dirinya dengan
penuh kejujuran dan apa adanya. Itulah yang dimaksud dengan sahaja.
Jadi, sahaja atau sahaya bukanlah suatu definisi kelas atau drajad sosial.
Sahaya tidak berarti harus menghamba kepada group atau kepada kekuasaan
kelompok atau kekuasaan genetik seperti kepada raja dengan meniadakan
pribadinya. Pribadi yang menemukan pengawikan pribadinya mendapat kedamaian dan
tahu apa yang harus dibuat. Ia terukur sekaligus merdeka.
Terukur
karena selalu diawasi, dijajagi dengan 6 SA. Yaitu: sakepenake, sakbutuhe,
sakperlune, sakcukupe, sakmestine, sabenere. Merdeka, karena dengan ukuran
tersebut pribadi terbebas dari keterikatan kepada nafsu benda, nafsu kemewahan
dan nafsu kederajatan atau nafsu kuasa.
Inilah rumusan terpenting yang beliau sumbangkan dari kejelataan Jawa kepada
kebudayaan Jawa dan Indonesia. Dengan demikian beliau telah mengeluarkan
pribadi yang berabad – abad terkungkung di dalam komuni atau in group. Juga
melepaskan ketergantungan pribadi dari rantai filosofis Tuhan – raja – kawula
yang telah melahirkan kelas. Darimana pemikiran beliau berasal? Dari kebudayaan
Jawa juga. Tepatnya dari spirit kejelataan dalam budaya Jawa, namun belum
terumuskan sebelumnya. Bagaimana beliau tahu? Kuncinya adalah pada lelaku. Atas
dasar inilah maka kita sebut beliau itu melakukan perubahan atas weltanschaung
( pandangan dunia) Jawa sebelumnya.
Penekanan kepada pengetahuan pribadi yang seperti itu terus dikembangkan dalam
pemikiran beliau selanjutnya. Termasuk dalam hubungan dengan Tuhan. Soal ini
beliau mengatakan “ bukan soal siapa yang disembah, tetapi siapa yang menyembah...”
Maka pertengkaran teologis menjadi tidak relevan di sini. Pengetahuan pribadi
yang tepat secara otomatis membawa orang kepada subyek yang tepat untuk
disembah dan juga cara yang tepat untuk menyembah.
Demikianlah sedikit catatan yang saya sadari tak cukup berarti dalam rangka
memahami kedalaman dan keluasan ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram. Maksud saya
dengan tulisan ini hanya untuk membantu kita melihat kembali dengan jujur
kedudukan pribadi kita di tengah zaman yang katanya “bebas merdeka”. Benarkah?
Catatan:
1. Istilah kejelataan di sini berasal dari pemikiran almarhum Suryanto
Sastroatmojo dalam sebuah catatan yang belum dipublikasikan. Saya hanya mencoba
mendefinisikannya.
2. esai ini pertama sekali dipublikasikan di Halaman Apresiasi Bali Post Minggu
tahun 2007
Sumber:
http://mataharigading.blogspot.com/2009/02/jawa-dari-mataram-ke-mentaram.html
Comments
Post a Comment